Selasa, 14 Desember 2010

DOKTRIN AHLI KALAM TENTANG TEOLOGI DAN POLITIK


DOKTRIN AHLI KALAM TENTANG TEOLOGI DAN POLITIK
A.                PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad berperan sebagai pemimpin yang tak bisa dibantah dalam meletakkan prinsip-prinsip agama Islam. Setelah wafatnya Nabi yang tak dinyana menyebakan ketidak pastian siapa penggantinya karena beliau tidak menyampaikan wasiat siapa penggantinya. Akhirnya muncul masalah perebutan kekuasaan, yang semakin tajam pada masa khalifah Utsman bin Affan, dikarenakan nepotisme memunculkan ketidak puasan dan keresahan yang berkembang menjadi pertikaian massal dan memuncak pada kematian Usman. Ali dinobatkan sebagai khalifah, tetapi mendapat oposisi kuat yaitu dari anak turun Umayyah, Aisyah dan sebagian sahabat karib Nabi.
Sesuai perang siffin antara Ali dan Muawiyah, sekelompok pasukan Ali keluar dari barisan dan memberontak kepadanya dikenal dengan Khawarij. Dan golongan yang mendukung  Ali sendiri menentang rezim Umayyah karena menganggap Umawiyah telah merebut kekuasaan dari tangan Ali, kelompok ini disebut Syi’ah. Di samping Khawarij dan Syi’ah, ada segolongan umat Islam yang membentuk mayoritas umat yang dikenal sebagai penganut Ahli Sunnah wal Jamaah (sunni), pandangan mereka tentang kekhalifahan ditampilkan oleh para ahli hukumnya yang memainkan peran dalam pemerintahan.[1] Selain itu muncul juga aliran kalam yang lain yaitu Mu’tazilah. Dari aliran-aliran ahli kalam ini kemudian perlu diketahui pemikiran tentang teologi politik masing-masing.
2. Rumusan Masalah
Apa pemikiran teologi politik aliran kalam sunni, syiah, khawarij, dan mu’tazilah? Dan Bagaimana doktrin mereka tentang teologi politik?




B.     PEMBAHASAN

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa. Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan.[2] Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat.[3]
Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).

Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al– Nisa’,4:59).
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al-Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran-ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.[4]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum-hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.[5]

PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali.[6]
Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam[7]:
  1. Harus ma’shum (terpelihara) dari berbuat salah, lupa, dan maksiat. Menurut Al-Syarif al-Murthada seorang imam wajib ‘ishmah (terpelihara dari dosa) mengingat kedudukannya sebagai pembuat dan pelaksana hukum dan undang-undang. Jika tidak ‘ishmah maka ia akan melakukan dalam urusan agama. Namun, walaupun imam ternyata berbuat salah, para pengikutnya tetap wajib mentaatinya.karena suatu perbuatan imam bagi umat salah, bagi imam itu bukan merupakan perbuatan salah. ‘ishmah seorang imam menurut Al-Thusi, baik zahir maupun batin, dan baik sebelum menjadi imam maupun sesudah memangku jabatan imamah.
  2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan yang mereka sebut mukjizat untuk mengukuhkan keimanannya sebagaimana mukjizat yang terjadi pada nabi-nabi Allah.
  3. Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at. Pengetahuan itu bukan bukan melalui proses belajar dan ijtihad, tapi merupakan ilmu ladunni, yaitu kemakrifatan yang dilimpahkan Allah kepada para imam.
  4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi hanya menetapkan sifat-sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau. Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.[8]
Iqbal menulis, secara sosio-politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam-imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik. Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al-Mahdi al-Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).[9]



PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah. Masing-masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.[10] Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin.[11]
Golongan khawarij mempunyai kepercayaan yang amat kuat terhadap agama yang dipeluknya sehingga menolak mentah-mentah terhadap segala bentuk perbuatan dosa kendati amat sepele. Sikap itu melahirkan dogma-dogmanya yang lain seperti keyakinan bahwa setiap perbuatan merupakan bagian penting dari iman. Artinya, setiap muslim berkewajiban melaksanakan kebajikan dan menjauhi kemungkaran serta mewujudkan persamaan hak di antara orang-orang beriman. Mereka menganggap kesalehan sebagai watak dan pribadi setiap muslim yang tak dapat ditawar. Oleh sebab itu, seorang pelaku dosa besar dicap sebagai kafir meskipun telah mengucapkan kalimat syahadah atau melakukan semua ragam peribadatan. Andai kepercayaan khawarij diterjemahkan ke dalam perilaku politik, kita menemukan bahwa ciri utamanya adalah hak mulak tidak hanya untuk menentang, tetapi juga memberontak kepada pemerintah yang berkuasa jika terbukti bahwa tindakan atau wataknya tidak segaris dengan standar baku undang-undang pemerintah atau imam yang haruslah seorang pribadi utuh dan adil serta saleh tanpa mengabaikan ajaran-ajaran agama.[12]
Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase. Dalam hal jabatan khalifah mereka sangat demokratis.  Menurut mereka, hak untuk menjadi khalifah tidak terbatas pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu. selanjutnya menurut mereka seorang pemimpin yang menyeleweng bisa diturunkan dari jabatannya, dan bahkan dapat dibunuh.[13]

Secara garis besar beberapa prinsip yang disepakati aliran Khawarij, yaitu:
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar–benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at, serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan. Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifah melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang berasal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka. Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersifat kebolehan. Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir. Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapat merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran. Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al-Zubair, dan para tokoh sahabat lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.[14]


PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Mu’tazilah sebagai gerakan atau sikap politik lahir pada awal pemerintahan khalifah Ali bin Abu Thalib. Thalhah bin ubaidillah dan zubair bin awwam secara terang-terangan memberontak terhadap Ali, namun sebagian penduduk madinah bersikap netral tidak melibatkan diri dlam bentrokan antara pihak-pihak yang bertengkar, dan lebih cenderung kepada pendalaman pengetahuan agama dengan otak dan hati mereka. Disebut mu’tazilah karena telah i’tazala (memisahkan diri). Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al-Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa. Washil menolak pendapat Hasan Bashri bahwa orang yang melakukan banyak dosa disebut munfik, karena munafik tetap berstatus mukmin sampai terbukti atau terbongkar nifaqnya. Bukan munafik tetapi antara mukmin dan kafir (manzilah baina al-manzilatain).[15]
Pemikiran politik Mu’tazilah tidak jauh berbeda dengan Khawarij. Mereka berpendapat pembentukan imamah (pemerintahan atau kepemimpinan) tidak wajib berdasarkan syara’, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan muamalah manusia. Tapi seandainya umat bisa saling berlaku adil, saling tolong menolong, saling bantu-membantu dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan setiap mukallaf dapat melaksanakan kewajibannya (tanpa ada seorang imam), maka umat tidak memerlukan kehadiran seorang imam.[16]
Konsepsi politik Mu’tazilah pada umumnya menegaskan bahwa kepemimpinan negara itu merupakan pilihan rakyat. Hal itu karena Allah tidak memberikan penegasan siapa yang harus memimpin umat sepeninggal Nabi, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan bahwa “yang termulia di antara kita bagi Allah adalah orang yang paling takwa”, maka hak menjadi khalifah tidak merupakan hak istimewa bagi satu keluargaatau suku tertentu. Petunjuk Al-Qur’an tersebut diperkuat oleh sabda Nabi yang memerintahkan kepada kita agar tunduk kepada pemimpin meskipun dia seorang budak berkulit hitam dari Afrika. Bagi Mu’tazilah hak memilih kepala negara itu berada di tangan rakyat, yang kemudian mengangkatnya untuk melaksanakan hukum, tanpa memandang suku, dari suku Quraisy atau bukan, asalkan beragama Islam, mukmin dan adil, serta tidak pula mempertimbangkan suku.[17]


























C.        PENUTUP
Dari keempat aliran kalam di atas dapat dipahami bahwa pemikiran teologi politik mereka terbagi dalam tiga tipe: Sunni yang beraliran aristokrasi monarki, dimana Pemikiran-pemikiran teologi politik dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan, raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Syi’ah beraliran teokrasi, yaitu mengangkat dan mengkultuskan Ali dan imam penerusnya pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi kecuali Syi’ah Zaidiyah. Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij dan Mu,tazilah, Menurut mereka, hak untuk menjadi khalifah berada di tangan rakyat tidak terbatas pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu.


















DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Ibrahim,Khalid, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1994.






[1] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.2-5.

[2] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001), hal.106.
[3] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (UI – Press, 1990), hal.108.
[4] Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.107.
[5] Ibid, hal.109.
[6] Munawir Sjadzali, Op, Cit., hal.211.
[7] Suyut Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 1997), cet ketiga, hal.206-207.
[8] Ibid, hal.208.
[9] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.24.
[10] Ibid, hal.63.
[11] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.120.
[12] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 5-6.
[13] Munawir Sjazdali,Op. Cit. hal.217.
[14] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.121.
[15] Munawir Sjadzali,Op. Cit. hal.218.
[16] Suyuti Pulungan,Op. Cit. hal.209.
[17] Munawir Sjadzali,Op. Cit. hal.220.